Macet seringkali
kita mendengar nama itu. Dan pada akhirnya pemerintah pun tidak dapat mengatasi
hal kemacetan yang melanda di ibukota. Kemacetan seperti menjadi
permasalahan sehari-hari ditemukan di Pasar, Sekolah, Terminal bus (seperti
kejadian ngetem sembarangan, kebakaran di pemukiman, dll), Lampu merah dan Persimpangan
jalan raya maupun rel kereta api di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang,
Makassar, Palembang, Denpasar, Jogjakarta, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Nah, menurut saya kita harus mengetahui apa penyebab dan
masalahnya, mengetahui perundang-undangan mengenai hal kemcetan, dan mencari
solusi yang terbaik bagi masyarakat agar kemacetan dapat segera teratasi dengan
baik.
.
Kemacetan di
daerah ibu kota telah menjadi penyakit kronis sejak awal tahun 1990-an, dengan
kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan. Berbagai solusi ditawarkan, namun
tidak satupun berjalan efektif untuk mengatasinya, karena solusi yang
ditawarkan (misal: jalur 3-in-1, jalur khusus bus, perbaikan jalan, dan
pembangunan jalan tol) cenderung terpilah-pilah (parsial), tidak sistematis,
dan tidak kontinu.
Departemen
Pekerjaan Umum (PU) sebagai pembina urusan jalan merupakan salah satu pihak
yang menjadi sasaran complain masyarakat yang bertubi-tubi tentang persoalan
kemacetan tersebut. Fakta ini dapat dipahami mengingat saat ini 90% angkutan
penumpang maupun barang bertumpu pada jaringan jalan yang ada.Tidak dapat
dipungkiri bahwa jalan sejauh ini merupakan harapan terbesar masyarakat ibukota,
daerah sekitarnya, bahkan nasional, untuk mendukung kegiatan sosial ekonominya.
Dengan
pembebanan yang ada tersebut, jalan merupakan ground transport infrastructure
yang sangat vital dalam mewujudkan sasaran pembangunan nasional, yakni untuk :
- Mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan target yang telah ditetapkan antara 6 hingga 8% per tahun
- Mempercepat terjadinya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta pengentasan kemiskinan bagi tidak kurang dari 36 juta jiwa yang hidup dengan penghasilan di bawah US $ 2per hari.
- Menciptakan lapangan kerja langsung (buruh, supplier material, sektor informal, dan sebagainya) dan tidak langsung (pedagang pasar, penambang galian C, pengusaha restoran, pengusaha BBM, dll).
- Memperkuat kesatuan dan persatuan nasional.
Namun,
permasalahan kemacetan sangatlah kompleks. Kajian singkat ini berupaya untuk
menyajikan anatomi kemacetan ditinjau dari faktor-faktor penyebab, dampak yang
ditimbulkan, konsep-konsep untuk mengatasi kemacetan, serta peran yang dapat
dimainkan oleh Departemen Pekerjaan Umum sebagai kontribusi untuk mengatasi
kemacetan.
Penyebab
Kemacetan
Kemacetan
dicirikan, secara teoritik, oleh arus yang tidak stabil, kecepatan tempuh
kendaraan yang lambat, serta antrian kendaraan yang panjang, yang biasanya
terjadi pada konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi atau pada persimpangan
lalu-lintas di pusat-pusat perkotaan.
Kemacetan
yang parah sebagaimana terjadi di Jakarta dapat ditinjau dari 2 (dua) sisi,
yakni sisi supply (penyediaan) dan sisi demand (kebutuhan). Anatomi kemacetan
diperlihatkan secara skematik pada Gambar 1 berikut :
Sebagian dari
faktor-faktor penyebab tersebut(box warna kuning) berada dalam lingkup tugas,
tanggung jawab, dan kompetensi Departemen Pekerjaan Umum, yang meliputi:
Peningkatan
laju pertambahan jalan (termasuk jalan tol) di Jabodetabek adalah 1% per tahun,
tidak sebanding dengan laju pertambahan kendaraan yang mencapai 11% per tahun.
Volume yang tidak sebanding antara jumlah kendaraan dan panjang jalan
menyebabkan kemacetan yang parah pada jam-jam puncak;
- Upaya peningkatan kapasitas jalan (khususnya jalan tol dan simpang susun) terkendala oleh proses pembebasan lahan yang berjalan lambat dan keterbatasan dana yang tersedia. Terlebih bahwa Dep. PU harus menutup setiap tahunnya biaya eksternalitas dari kerusakan jalan yang disebabkan oleh pembebanan berlebihan (overloading); dan
- Kualitas rencana tata ruang yang belum memadai dan pengendalian pemanfaatan ruang yang lemah (ketidakmampuan menghadang kekuatan pasar) menyebabkan instrumen penataan ruang menjadi tidak efektif. Fakta menunjukkan bahwa penataan ruang tidak mampu mengendalikan penumpukan > 60% kegiatan ekonomi nasional di Jabodetabek (pusat kegiatan industri, komersial, pemerintahan, dan jasa keuangan).
Penurunan kondisi
jalan dalam banyak hal juga menjadi salah satu penyebab kemacetan yang
merupakan dampak dari:
·
Kemampuan pemeliharaan dan rehabilitasi jalan yang terbatas.
·
Laju perbaikan jalan yang berjalan lebih lambat dari laju
kerusakan jalan.
·
Pertambahan volume lalu-lintas maupun intensitas beban yang terus
meningkat termasuk overloading yang tidak terkendali.
·
Kualitas hasil penanganan jalan masih belum sesuai dengan
rencana/spesifikasi.
Perlintasan
sebidang menambah kemacetan pada kawasan Jabodetabek. Berdasarkan identifikasi,
pada saat ini terdapat 46 kawasan di kawasan ini dengan total 100 titik simpang
rawan macet di Jakarta, dimana 8 (delapan) kawasan di antaranya memiliki lebih
dari 4 (empat) titik simpang rawan (Kawasan Ancol/Gunung Sahari, Jatibaru/Tanah
Abang, Kalimalang, Mampang/Buncit, Pasar Minggu, Pondok Indah, Pulo Gadung, dan
Tambora). Tingkat keparahan pada 8 (delapan) kawasan ini dua kali lipat lebih
tinggi dari kawasan-kawasan lainnya.
Perkembangan
terakhir menunjukkan bahwa pembangunan beberapa jalur busway di wilayah ibukota
telah meningkatkan 30-40 % dari jumlah titik simpang rawan macet tersebut.
Pada musim
hujan, faktor genangan dan banjir menambah tingkat keparahan dari kemacetan.
Fakta menunjukkan bahwa kapasitas saluran/kanal yang terbatas tidak mampu
menampung curah hujan dengan intensitas yang rendah sekalipun. Apabila ditambah
dengan kemampuan mengelola sampah dari Pemerintah Kota yang belum optimal dan
budaya masyarakat yang buruk dalam membuang sampah, maka dampak langsung dari
luapan air adalah pada badan jalan yang kemudian memicu kemacetan.
Tidak
tersedianya moda alternatif mengakibatkan seluruh beban sirkulasi ada pada
prasarana jalan, sementara rendahnya ketersediaan angkutan umum menyebabkan
ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kendaraaan pribadi. Keberadaan
angkutan umum (public transport) di Jabodetabek belum mampu memenuhi kebutuhan
pergerakan orang di Jabodetabek. Data menunjukkan bahwa 7 juta orang melakukan
pergerakan lalu lintas per hari di Jabodetabek, dimana 3,08 juta di antaranya
menggunakan kendaraan pribadi dan sisanya menggunakan moda angkutan umum. Sebagai
gambaran, busway yang banyak diandalkan oleh Pemerintah DKI Jakarta sejauh ini
hanya mampu mengangkut 210.000 orang/hari atau sekitar 6% saja dari total orang
yang melakukan pergerakan tersebut.
Akhirnya,
ketidakpatuhan pengguna jalan dan kelemahan penegakan hukum(traffic management)
seperti maraknya pasar tumpah/kaki lima, pemanfaatan badan jalan menjadi lahan
parkir dan terminal angkutan umum merupakan faktor-faktor yang menambah panjang
list penyebab kemacetan di Jakarta.
Dampak Yang
Ditimbulkan Akibat Kemacetan
1. Secara
ekonomi, kemacetan menyebabkan peningkatan waktu tempuh (inefisiensi waktu),
biaya transportasi secara signifikan, gangguan yang serius bagi pengangkutan
produk-produk ekspor-impor (logistik secara umum), penurunan tingkat
produktivitas kerja, dan pemanfaatan energi yang sia-sia.
2. Selain itu,
kemacetan pun memberikan dampak yang serius bagi penurunan kualitas lingkungan
perkotaan (khususnya tingkat kebisingan dan polusi udara) dan penurunan tingkat
kesehatan (misal: pemicu lahirnya berbagai penyakit pernapasan, tekanan
psikologis/stress, dsb).
3. Dalam konteks
perubahan iklim (climate change) yang kini tengah menjadi hot topic bagi
masyarakat dunia, kemacetan lalu lintas di kota-kota utama dunia telah menjadi
salah satu kontributor utama dalam emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfir yang
menyebabkan peningkatan temperatur bumi yang signifikan sejak kota-kota
tersebut tumbuh pesat.
4. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Bappenas tahun 2006 menunjukkan bahwa kemacetan
di Jakarta menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 7 Trilyun/tahun yang
dihitung untuk 2 (dua) sektor saja, yakni energi (Rp. 5,57 T/tahun) dan
kesehatan (Rp. 1,7 T/tahun). Sementara Yayasan Pelangi memperkirakan kerugian
bisa membengkak hingga Rp. 43 Trilyun per tahun akibat menurunnya produktivitas
kerja, pemborosan BBM dan pencemaran udara.
Beberapa
Konsep Untuk Mengatasi Kemacetan
Dalam dunia
akademik, dikenal prinsip-prinsip untuk mengatasi kemacetan yang banyak
didiskusikan/diperdebatkan oleh para ahli, yang salah satunya adalah prinsip
transit oriented development (TOD). TOD dapat dikategorikan sebagai salah satu
konsep urban planning, seperti Intelligent Urbanismatau Smart Growth, yang menekankan
pentingnya untuk mengembangkan kota yang efisien dalam pemanfaatan lahan.
Konsep TOD
sendiri menekankan pentingnya kedekatan antara sarana transportasi (stasiun dan
terminal) dengan kegiatan perkotaan campuran (jasa komersial/retail,
residensial dan perkantoran) dengan densitas tinggi (compact). Radius pelayanan
perkotaan 0,4-0,8 km dari stasiun/terminal yang memungkinkan terjadinya
sirkulasi pedestrian dan sepeda. Penggunaan transportasi publik lebih
diutamakan didalam kotadenganmenyediakan sarana-sarana perhentian sementara
(transit).
Menarik untuk
disimak kutipan berikut: Traffic congestion has increased so much in virtually
every metropolitan area that two-hour commutes now are routine. Attempts to
alleviate the problem of constructing more highways almost have led to more
sprawl and, eventually, more congestion. (Jim Miara, kolumnis untuk
majalahUrban Land).
Sementara
itu, Transit Oriented Development (TOD) as an approach to combat traffic
congestion and protect environment has caught on all across the country. The
trick for real estate developers has always been identifying the hot
transportation system. Today, highways are out, urban transit system are in.
(The Urban Land Institute). Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana dengan
kita? Tampaknya kita perlu mereformulasi secara fundamental kxebijakan dan
strategi pembangunan transportasi yang selama ini terlalu bersifat sektoral.
Salah satu
alternatif kebijakan yang mungkin perlu dipikirkan untuk mengatasi (sebagian)
kemacetan di Jakarta (walaupun kebijakan ini tetap saja masih sangat bersifat
parsial, tidak komprehensif) adalah penerapan congestion charge, seperti
pengalaman Kota London dalam mengatasi kemacetan di pusat kota. Otoritas
setempat menetapkan charge pada London congestion zones sebesar 5 poundsterling
per hari mulai pukul 7.00 pagi hingga pukul 18.30 malam dari hari Senin-Jumat
pada area seluas 21 km2. Pengecualian diberikan untuk sarana transportasi umum
(bus), taksi resmi (registered taxi) dan ambulans (emergency vehicles). Discount
diberikan bagi mobil-mobil warga Kota London yang berlangganan. Bilamana
pengendara kendaraan bermotor tidak membayar charge tersebut, maka denda yang
berlaku adalah 120 poundsterling.
Bagaimana
pun, congestion charge, sebagaimana layaknya sebuah kebijakan publik yang tidak
populer, mendapatkan tentangan keras dari politisi dan Londoners (khususnya
para retailers, shoppers, dll) yang merasakan penurunan angka penjualan secara
signifikan yang diperkirakan sebesar 100 juta poundsterling/tahun akibat penurunan
jumlah orang dan mobil ke pusat Kota London. Selain itu juga bahwa masyarakat
London trauma dengan keselamatan transportasi publik, pasca bom London 2005.
Konsistensi otoritas Kota London dalam menghadapi berbagai kritik dan
resistensi terhadap kebijakan adalah kunci dalam penerapan kebijakan ini.
PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI HAL KEMACETAN
Undang – Undang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan
No 22 Tahun 2009, Lebih Spesialis.
Contohnya untuk menangani kasus kecelakaan
lalu lintas, kita dapat menggunakan pasal yang ada dalam Undang – undang lalu
lintas dan Angkutan Jalan. Artinya mana kala ada kecelakaan lalu
lintas dapat ,menggunkan pasal yang mengatur kecelakaan lalu lintas
sesuai dengan pasal 310 atau pasal 311 UU Nomor 22 Tahun 2009; jadi tidak
lagi hanya menggunkan pasal kelalaian atau kealfaan sebagaimana diatur dalam
pasal 359 KUHP. Contoh :
a. Pasal 310
(1) Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu
Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu
Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000,00 (dua
juta rupiah).
(3) Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu
Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain mati, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
b. Pasal 311
(1) Setiap orang yang dengan sengaja
mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang
membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan
Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka
ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
atau denda paling banyak Rp.8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan lalu Lintas dengan korban luka
berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp.20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain mati, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak
Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
- Memuat Ketentuan Pidana dan Denda
Sebagaimana diatur dalam Pasal 273 s/d 326,
Karena bagi pelanggar Undang – undang Lalu lintas dan Angkutan jalan dikenakan
Pidana Penjara dan Denda. Artinya bagi pelanggar Undang undang lalu
lintas jalan manakala tidak sanggup membayar denda maka diganti dengan hukuman
penjara, sebagai contoh bunyi :
- Pasal 273
(1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak
dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga
menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang
dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.24.000.000,00
(dua puluh empat juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
(4) Penyelenggara Jalan yang tidak
memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan atau denda paling banyak Rp.1.500.000,00 (satu juta lima ratus
ribu rupiah).
SOLUSI MENGATASI KEMACETAN
Nah jadi
menurut saya dalam mengatasi hal ini tidak ada solusi jitu dalam jangka
pendek untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta. Pemerintah sebaiknya
tidak mengeluarkan kebijakan yang hanya berfungsi sebagai parasetamol untuk
mengurangi kemacetan yang sifatnya semu dan sementara.
Masalah
kemacetan di Jakarta dan sekitarnya bukan hanya masalah transportasi semata.
Alternatif solusi mengatasi permasalahan transportasi di DKI Jakarta
sebagaimana yang ditawarkan oleh Menteri Perhubungan (antara lain dengan
mengembangkan transportasi multi-moda, MRT System, KA Bandara Soekarno-Hatta,
pengembangan Intelligent Transport System (ITS), perubahan struktur pajak
kendaraan bermotor, perbaikan manajemen transportasi, dan sebagainya) hanyalah
bagian dari penanganan masalah kemacetan Jakarta yang sangat kompleks dan
berdimensi banyak.
Upaya
penanganan kemacetan di Jakarta dan sekitarnya harus bersifat menyeluruh,
berdimensi jangka panjang dan bersifat sustainable. Ramalan para ahli
transportasi mengenai total gridlock dalam 7 tahun ke depan, tepatnya pada tahun
2014, harus menjadi warning bagi pemerintah (Pusat dan Daerah). Oleh karenanya
perlu diupayakan agar langkah-langkah jangka pendek dan jangka panjang tersebut
di atas ditempatkan dalam prioritas Departemen PU serta memperoleh dukungan
politik dan finansial yang memadai dari Pemerintah dan DPR.
Melihat
kompleksitas permasalahannya, tidak ada kata yang lebih tepat selain koordinasi
yang lebih baik dan intensif di lingkungan internal Departemen PU antara
Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat
Jenderal Cipta Karya, dan Direktorat Jenderal Sumberdaya Air dalam meninjau
kembali dan merumuskan ulang Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan
(Megapolitan?) Jabodetabek ini dengan antara lain menambahkan, memperkuat, dan memberikan
penekanan pada beberapa aspek sebagaimana disebutkan di atas. Perencanaan tata
ruang Kawasan Metropolitan Jabodetabek tidak cukup hanya dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Penataan Ruang semata.
Di
samping itu, koordinasi yang lebih baik dan intensif dengan mitra kerja
strategis dalam mengatasi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya ini, seperti
Departemen Perhubungan dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta Pemerintah
Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabek, juga sangat diperlukan.
Pengalaman
pada kawasan Jabodetabek seyogyanya menjadi pelajaran yang berharga (lessons
learned) bagi kawasan metropolitan lain di tanah air, seperti Bandung, Medan,
Surabaya, Makassar, dan Denpasar, yang tampaknya dalam beberapa waktu terakhir
mulai bergulat dengan persoalan yang sama, yaitu KEMACETAN.
SUMBER :