Rabu, 15 Juni 2016

KEMACETAN YANG MELANDA DI IBUKOTA





Macet seringkali kita mendengar nama itu. Dan pada akhirnya pemerintah pun tidak dapat mengatasi hal kemacetan yang melanda di ibukota. Kemacetan seperti menjadi permasalahan sehari-hari ditemukan di Pasar, Sekolah, Terminal bus (seperti kejadian ngetem sembarangan, kebakaran di pemukiman, dll), Lampu merah dan Persimpangan jalan raya maupun rel kereta api di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Makassar, Palembang, Denpasar, Jogjakarta, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.


Nah, menurut saya kita harus mengetahui apa penyebab dan masalahnya, mengetahui perundang-undangan mengenai hal kemcetan, dan mencari solusi yang terbaik bagi masyarakat agar kemacetan dapat segera teratasi dengan baik.


.

 Kemacetan di daerah ibu kota telah menjadi penyakit kronis sejak awal tahun 1990-an, dengan kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan. Berbagai solusi ditawarkan, namun tidak satupun berjalan efektif untuk mengatasinya, karena solusi yang ditawarkan (misal: jalur 3-in-1, jalur khusus bus, perbaikan jalan, dan pembangunan jalan tol) cenderung terpilah-pilah (parsial), tidak sistematis, dan tidak kontinu.
Departemen Pekerjaan Umum (PU) sebagai pembina urusan jalan merupakan salah satu pihak yang menjadi sasaran complain masyarakat yang bertubi-tubi tentang persoalan kemacetan tersebut. Fakta ini dapat dipahami mengingat saat ini 90% angkutan penumpang maupun barang bertumpu pada jaringan jalan yang ada.Tidak dapat dipungkiri bahwa jalan sejauh ini merupakan harapan terbesar masyarakat ibukota, daerah sekitarnya, bahkan nasional, untuk mendukung kegiatan sosial ekonominya.

Dengan pembebanan yang ada tersebut, jalan merupakan ground transport infrastructure yang sangat vital dalam mewujudkan sasaran pembangunan nasional, yakni untuk :

  •  Mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan target yang telah ditetapkan antara 6 hingga 8% per tahun
  • Mempercepat terjadinya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta pengentasan kemiskinan bagi tidak kurang dari 36 juta jiwa yang hidup dengan penghasilan di bawah US $ 2per hari.
  • Menciptakan lapangan kerja langsung (buruh, supplier material, sektor informal, dan sebagainya) dan tidak langsung (pedagang pasar, penambang galian C, pengusaha restoran, pengusaha BBM, dll).
  • Memperkuat kesatuan dan persatuan nasional.

Namun, permasalahan kemacetan sangatlah kompleks. Kajian singkat ini berupaya untuk menyajikan anatomi kemacetan ditinjau dari faktor-faktor penyebab, dampak yang ditimbulkan, konsep-konsep untuk mengatasi kemacetan, serta peran yang dapat dimainkan oleh Departemen Pekerjaan Umum sebagai kontribusi untuk mengatasi kemacetan.
Penyebab Kemacetan
Kemacetan dicirikan, secara teoritik, oleh arus yang tidak stabil, kecepatan tempuh kendaraan yang lambat, serta antrian kendaraan yang panjang, yang biasanya terjadi pada konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi atau pada persimpangan lalu-lintas di pusat-pusat perkotaan.
Kemacetan yang parah sebagaimana terjadi di Jakarta dapat ditinjau dari 2 (dua) sisi, yakni sisi supply (penyediaan) dan sisi demand (kebutuhan). Anatomi kemacetan diperlihatkan secara skematik pada Gambar 1 berikut :
Sebagian dari faktor-faktor penyebab tersebut(box warna kuning) berada dalam lingkup tugas, tanggung jawab, dan kompetensi Departemen Pekerjaan Umum, yang meliputi:
Peningkatan laju pertambahan jalan (termasuk jalan tol) di Jabodetabek adalah 1% per tahun, tidak sebanding dengan laju pertambahan kendaraan yang mencapai 11% per tahun. Volume yang tidak sebanding antara jumlah kendaraan dan panjang jalan menyebabkan kemacetan yang parah pada jam-jam puncak;
  • Upaya peningkatan kapasitas jalan (khususnya jalan tol dan simpang susun) terkendala oleh proses pembebasan lahan yang berjalan lambat dan keterbatasan dana yang tersedia. Terlebih bahwa Dep. PU harus menutup setiap tahunnya biaya eksternalitas dari kerusakan jalan yang disebabkan oleh pembebanan berlebihan (overloading); dan
  • Kualitas rencana tata ruang yang belum memadai dan pengendalian pemanfaatan ruang yang lemah (ketidakmampuan menghadang kekuatan pasar) menyebabkan instrumen penataan ruang menjadi tidak efektif. Fakta menunjukkan bahwa penataan ruang tidak mampu mengendalikan penumpukan > 60% kegiatan ekonomi nasional di Jabodetabek (pusat kegiatan industri, komersial, pemerintahan, dan jasa keuangan).
Penurunan kondisi jalan dalam banyak hal juga menjadi salah satu penyebab kemacetan yang merupakan dampak dari:
·       Kemampuan pemeliharaan dan rehabilitasi jalan yang terbatas.
·       Laju perbaikan jalan yang berjalan lebih lambat dari laju kerusakan jalan.
·       Pertambahan volume lalu-lintas maupun intensitas beban yang terus meningkat termasuk overloading yang tidak terkendali.
·       Kualitas hasil penanganan jalan masih belum sesuai dengan rencana/spesifikasi.
Perlintasan sebidang menambah kemacetan pada kawasan Jabodetabek. Berdasarkan identifikasi, pada saat ini terdapat 46 kawasan di kawasan ini dengan total 100 titik simpang rawan macet di Jakarta, dimana 8 (delapan) kawasan di antaranya memiliki lebih dari 4 (empat) titik simpang rawan (Kawasan Ancol/Gunung Sahari, Jatibaru/Tanah Abang, Kalimalang, Mampang/Buncit, Pasar Minggu, Pondok Indah, Pulo Gadung, dan Tambora). Tingkat keparahan pada 8 (delapan) kawasan ini dua kali lipat lebih tinggi dari kawasan-kawasan lainnya.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pembangunan beberapa jalur busway di wilayah ibukota telah meningkatkan 30-40 % dari jumlah titik simpang rawan macet tersebut.
Pada musim hujan, faktor genangan dan banjir menambah tingkat keparahan dari kemacetan. Fakta menunjukkan bahwa kapasitas saluran/kanal yang terbatas tidak mampu menampung curah hujan dengan intensitas yang rendah sekalipun. Apabila ditambah dengan kemampuan mengelola sampah dari Pemerintah Kota yang belum optimal dan budaya masyarakat yang buruk dalam membuang sampah, maka dampak langsung dari luapan air adalah pada badan jalan yang kemudian memicu kemacetan.
Tidak tersedianya moda alternatif mengakibatkan seluruh beban sirkulasi ada pada prasarana jalan, sementara rendahnya ketersediaan angkutan umum menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kendaraaan pribadi. Keberadaan angkutan umum (public transport) di Jabodetabek belum mampu memenuhi kebutuhan pergerakan orang di Jabodetabek. Data menunjukkan bahwa 7 juta orang melakukan pergerakan lalu lintas per hari di Jabodetabek, dimana 3,08 juta di antaranya menggunakan kendaraan pribadi dan sisanya menggunakan moda angkutan umum. Sebagai gambaran, busway yang banyak diandalkan oleh Pemerintah DKI Jakarta sejauh ini hanya mampu mengangkut 210.000 orang/hari atau sekitar 6% saja dari total orang yang melakukan pergerakan tersebut.
Akhirnya, ketidakpatuhan pengguna jalan dan kelemahan penegakan hukum(traffic management) seperti maraknya pasar tumpah/kaki lima, pemanfaatan badan jalan menjadi lahan parkir dan terminal angkutan umum merupakan faktor-faktor yang menambah panjang list penyebab kemacetan di Jakarta.
Dampak Yang Ditimbulkan Akibat Kemacetan
1.    Secara ekonomi, kemacetan menyebabkan peningkatan waktu tempuh (inefisiensi waktu), biaya transportasi secara signifikan, gangguan yang serius bagi pengangkutan produk-produk ekspor-impor (logistik secara umum), penurunan tingkat produktivitas kerja, dan pemanfaatan energi yang sia-sia.
2.    Selain itu, kemacetan pun memberikan dampak yang serius bagi penurunan kualitas lingkungan perkotaan (khususnya tingkat kebisingan dan polusi udara) dan penurunan tingkat kesehatan (misal: pemicu lahirnya berbagai penyakit pernapasan, tekanan psikologis/stress, dsb).
3.    Dalam konteks perubahan iklim (climate change) yang kini tengah menjadi hot topic bagi masyarakat dunia, kemacetan lalu lintas di kota-kota utama dunia telah menjadi salah satu kontributor utama dalam emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfir yang menyebabkan peningkatan temperatur bumi yang signifikan sejak kota-kota tersebut tumbuh pesat.
4.    Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bappenas tahun 2006 menunjukkan bahwa kemacetan di Jakarta menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 7 Trilyun/tahun yang dihitung untuk 2 (dua) sektor saja, yakni energi (Rp. 5,57 T/tahun) dan kesehatan (Rp. 1,7 T/tahun). Sementara Yayasan Pelangi memperkirakan kerugian bisa membengkak hingga Rp. 43 Trilyun per tahun akibat menurunnya produktivitas kerja, pemborosan BBM dan pencemaran udara.
Beberapa Konsep Untuk Mengatasi Kemacetan
Dalam dunia akademik, dikenal prinsip-prinsip untuk mengatasi kemacetan yang banyak didiskusikan/diperdebatkan oleh para ahli, yang salah satunya adalah prinsip transit oriented development (TOD). TOD dapat dikategorikan sebagai salah satu konsep urban planning, seperti Intelligent Urbanismatau Smart Growth, yang menekankan pentingnya untuk mengembangkan kota yang efisien dalam pemanfaatan lahan.
Konsep TOD sendiri menekankan pentingnya kedekatan antara sarana transportasi (stasiun dan terminal) dengan kegiatan perkotaan campuran (jasa komersial/retail, residensial dan perkantoran) dengan densitas tinggi (compact). Radius pelayanan perkotaan 0,4-0,8 km dari stasiun/terminal yang memungkinkan terjadinya sirkulasi pedestrian dan sepeda. Penggunaan transportasi publik lebih diutamakan didalam kotadenganmenyediakan sarana-sarana perhentian sementara (transit).
Menarik untuk disimak kutipan berikut: Traffic congestion has increased so much in virtually every metropolitan area that two-hour commutes now are routine. Attempts to alleviate the problem of constructing more highways almost have led to more sprawl and, eventually, more congestion. (Jim Miara, kolumnis untuk majalahUrban Land).
Sementara itu, Transit Oriented Development (TOD) as an approach to combat traffic congestion and protect environment has caught on all across the country. The trick for real estate developers has always been identifying the hot transportation system. Today, highways are out, urban transit system are in. (The Urban Land Institute). Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana dengan kita? Tampaknya kita perlu mereformulasi secara fundamental kxebijakan dan strategi pembangunan transportasi yang selama ini terlalu bersifat sektoral.
Salah satu alternatif kebijakan yang mungkin perlu dipikirkan untuk mengatasi (sebagian) kemacetan di Jakarta (walaupun kebijakan ini tetap saja masih sangat bersifat parsial, tidak komprehensif) adalah penerapan congestion charge, seperti pengalaman Kota London dalam mengatasi kemacetan di pusat kota. Otoritas setempat menetapkan charge pada London congestion zones sebesar 5 poundsterling per hari mulai pukul 7.00 pagi hingga pukul 18.30 malam dari hari Senin-Jumat pada area seluas 21 km2. Pengecualian diberikan untuk sarana transportasi umum (bus), taksi resmi (registered taxi) dan ambulans (emergency vehicles). Discount diberikan bagi mobil-mobil warga Kota London yang berlangganan. Bilamana pengendara kendaraan bermotor tidak membayar charge tersebut, maka denda yang berlaku adalah 120 poundsterling.
Bagaimana pun, congestion charge, sebagaimana layaknya sebuah kebijakan publik yang tidak populer, mendapatkan tentangan keras dari politisi dan Londoners (khususnya para retailers, shoppers, dll) yang merasakan penurunan angka penjualan secara signifikan yang diperkirakan sebesar 100 juta poundsterling/tahun akibat penurunan jumlah orang dan mobil ke pusat Kota London. Selain itu juga bahwa masyarakat London trauma dengan keselamatan transportasi publik, pasca bom London 2005. Konsistensi otoritas Kota London dalam menghadapi berbagai kritik dan resistensi terhadap kebijakan adalah kunci dalam penerapan kebijakan ini.

PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI HAL KEMACETAN

Undang – Undang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan No 22 Tahun 2009, Lebih Spesialis.
Contohnya untuk menangani kasus kecelakaan lalu lintas, kita dapat menggunakan pasal yang ada dalam Undang – undang lalu lintas dan Angkutan Jalan. Artinya mana kala ada kecelakaan lalu lintas   dapat ,menggunkan pasal yang mengatur kecelakaan lalu lintas sesuai dengan  pasal 310 atau pasal 311 UU Nomor 22 Tahun 2009; jadi tidak lagi hanya menggunkan pasal kelalaian atau kealfaan sebagaimana diatur dalam pasal 359 KUHP. Contoh :

a. Pasal 310

(1)  Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2)  Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3)  Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(4)  Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

 b. Pasal 311

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan  Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan  yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain mati, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
  1. Memuat Ketentuan Pidana dan Denda
Sebagaimana diatur dalam Pasal 273 s/d 326, Karena bagi pelanggar Undang – undang Lalu lintas dan Angkutan jalan dikenakan Pidana Penjara dan Denda.  Artinya bagi pelanggar Undang undang lalu  lintas jalan manakala tidak sanggup membayar denda maka diganti dengan hukuman penjara, sebagai contoh bunyi :
  1. Pasal 273
(1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
(4) Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

SOLUSI MENGATASI KEMACETAN

Nah jadi menurut saya dalam mengatasi hal ini tidak ada solusi jitu dalam jangka pendek untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta. Pemerintah sebaiknya tidak mengeluarkan kebijakan yang hanya berfungsi sebagai parasetamol untuk mengurangi kemacetan yang sifatnya semu dan sementara.
Masalah kemacetan di Jakarta dan sekitarnya bukan hanya masalah transportasi semata. Alternatif solusi mengatasi permasalahan transportasi di DKI Jakarta sebagaimana yang ditawarkan oleh Menteri Perhubungan (antara lain dengan mengembangkan transportasi multi-moda, MRT System, KA Bandara Soekarno-Hatta, pengembangan Intelligent Transport System (ITS), perubahan struktur pajak kendaraan bermotor, perbaikan manajemen transportasi, dan sebagainya) hanyalah bagian dari penanganan masalah kemacetan Jakarta yang sangat kompleks dan berdimensi banyak.
Upaya penanganan kemacetan di Jakarta dan sekitarnya harus bersifat menyeluruh, berdimensi jangka panjang dan bersifat sustainable. Ramalan para ahli transportasi mengenai total gridlock dalam 7 tahun ke depan, tepatnya pada tahun 2014, harus menjadi warning bagi pemerintah (Pusat dan Daerah). Oleh karenanya perlu diupayakan agar langkah-langkah jangka pendek dan jangka panjang tersebut di atas ditempatkan dalam prioritas Departemen PU serta memperoleh dukungan politik dan finansial yang memadai dari Pemerintah dan DPR.
Melihat kompleksitas permasalahannya, tidak ada kata yang lebih tepat selain koordinasi yang lebih baik dan intensif di lingkungan internal Departemen PU antara Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Jenderal Cipta Karya, dan Direktorat Jenderal Sumberdaya Air dalam meninjau kembali dan merumuskan ulang Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan (Megapolitan?) Jabodetabek ini dengan antara lain menambahkan, memperkuat, dan memberikan penekanan pada beberapa aspek sebagaimana disebutkan di atas. Perencanaan tata ruang Kawasan Metropolitan Jabodetabek tidak cukup hanya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang semata.
Di samping itu, koordinasi yang lebih baik dan intensif dengan mitra kerja strategis dalam mengatasi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya ini, seperti Departemen Perhubungan dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta Pemerintah Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabek, juga sangat diperlukan.
Pengalaman pada kawasan Jabodetabek seyogyanya menjadi pelajaran yang berharga (lessons learned) bagi kawasan metropolitan lain di tanah air, seperti Bandung, Medan, Surabaya, Makassar, dan Denpasar, yang tampaknya dalam beberapa waktu terakhir mulai bergulat dengan persoalan yang sama, yaitu KEMACETAN.





SUMBER :